Membalas Tipuan Sang Hakim (Al Kisah Abu Nawas)

Memang Abu Nawas kalau diceritakan tidak akan ada habisnya. Abu Nawas tidak kehabisan akal dalam menghadapi berbagai macam masalah yang pelik sekalipun. Salah satu persoalan yang pelik tadi adalah ketika ia menghadapi seorang hakim yang licik dan zalim. Ia pun mampu menghadapi kelicikan dan kezaliman itu dengan kelicikan pula, hingga persoalan bisa selesai.

Kisahnya

Pada masa pemerintahan Khalifah Harun Al-Rasyid, ada seorang hakim yang baru saja diangkat. Hakim ini terkenal zalim, dan kezalimannya itu ditampakkan ketika ada seorang pemuda Mesir datang ke Baghdad untuk berdagang dengan membawa harta yang sangat banyak.
Pada suatu malam, pemuda ini bermimpi telah menikah dengan seorang wanita, yang mana wanitanya adalah anak dari seorang hakim dimana si pemuda membawa mahar (maskawin) yang sangat banyak. Mimpi tersebut lantas diceritakan ke banyak orang sehingga sampailah berita mimpi itu ke telinga sang hakim.

Hakim langsung saja mendatangi pemuda Mesir itu serta meminta mahar untuk anaknya. Tentu saja pemuda itu menolaknya karena pernikahannya hanya berdasarkan mimpi saja. Namun Sang Hakim tersebut tetap saja arogan dan memintanya. Sang Hakim bahkan merampas semua harta pemuda Mesir itu hingga membuat pemuda itu menjadi miskin, bahkan si pemuda menjaqdi pengemis. Untung saja tak lama setelah itu dia ditolong oleh seorang wanita tua.

Tidak terima dengan perlakuan Sang Hakim, wanita tua itu pun membawa pemuda Mesir kepada Abu Nawas untuk mengadu. Begitu mendapat pengaduan, Abunawas langsung saja mengambil tindakan. Ia mengajak semua murid yang diajarinya untuk datang malam hari dengan membawa kapak, cangkul, martil dan batu.

Dengan Arahan Abu Nawas, murid-muridnya pun langsung bergerak ke arah tuan hakim. Mereka seperti demonstran yang berteriak-teriak lalu menghancurkan rumah hakim itu sesuai dengan perintah. Melihat peristiwa itu, sang hakim pun keluar rumah dengan marah-marah dan bertanya,
"Siapa yang menyuruh kalian melakukan semua ini?"
Mereka pun menjawab," Guru kami, Syeikh Abu Nawas."

Melaksanakan Perintah Mimpi

Tidak terima dengan ulah murid-murid Abu Nawas, hakim itu melaporkan Abu Nawas ke Baginda Raja pada keesokan harinya. Pada pagi harinya, Abu Nawas dipanggil oleh Raja untuk menghadap.
"Wahai Abu Nawas, mengapa kamu merusak rumah hakim?" tanya Baginda.
"Wahai Tuanku, itu semua karena hamba bermimpi, dan dalam mimpi itu justru Tuan hakim sendiri yang menyuruh hamba untuk merusak rumahnya," jawab Abu Nawas.
Baginda Raja merasa aneh dengan jawaban itu, dan bertanya,
"Wahai Abu Nawas, hukum mana yang kamu pakai itu?"
"Dengan tenangnya Abu Nawas menjawab,
"Hamba memakai hukum yang juga dipakai Tuan hakim yang baru jadi ini, Baginda."

Mendengar penuturan yang singkat itu, sang hakim pun menjadi pusat pasi serta terdiam seribu bahasa.
"Wahai hakim, benarkah kamu juga mempunyai hukum itu?" tanya Baginda.
Sang Hakim hanya terdiam saja ditanya Baginda, sehingga Baginda Raja meminta penjelasan dari bau Nawas.
"Hai ABu Nawas, coba jelaskan kenapa ada peristiwa seperti ini?" tanya Baginda.
Abu Nawas lantas menyuruh masuk pemuda Mesir itu untuk memberikan kesaksian.
"Wahai Anak Mesir, ceritakan apa yang sebenarnya terjadi sejal engkau datang ke negeri ini?" tanya Baginda.
 
Pemuda itu pun menceritakan penderitaan yang dialaminya akibat kezaliman Sang Hakim.
Setelah si pemuda selesai bercerita, Baginda Raja langsung murka dengan adanya kebobrokan sikap hakim yang baru saja diangkatnya itu. Baginda Raja lantas merampas semua harta sang hakim dan diberikannya kepada pemuda Mesir itu.
 
Wah, salut deh dengan Abu Nawas yang berani melawan ketika ada ketidakberesan di negerinya. Semoga saja di Indonesia ini ada orang-orang yang berani layaknya sikap Abu Nawas yang menentang kezaliman yang semakin merajalela di tingkat pemerintahan.
 

Sedekah Yang MengHajikan

Pak Asep membenahi barang dagangannya, guratan-guratan tua di kening, wajahnya tetap kelihatan bening. Sejak setahun lalu kopiah putih selalu menghiasi kepalanya, menutupi rambutnya yang seluruhnya telah berwarna putih. “Alhamdulillah Jang, kadang sepi kadang ramai,” katanya menceritakan usahanya dengan bibir terus tersenyum. Dalam usia yang ke 67 ini Pak Asep ditemani istrinya mengurus warung kelontong berukuran 3 kali 4 meter.

Pak Asep dan istrinya belum dikaruniai anak. Diusia yang senja mereka terlihat menikmati hidup. Toko kelontong yang ada di depan rumahnya yang ada di sebuah gang kecil di Bandung itu jadi satu-satunya penopang kebutuhan hidup mereka sehari-hari. “Ini kenang-kenangan dari Mekkah, Jang,” menunjuk kopiah putihnya. Pak Asep dan Istrinya memang pergi ke tanah suci tahun lalu. “Dari dulu Bapak pingin pergi haji”, lanjutnya.

Hal ini membuatnya berkomitmen untuk menabung sedikit demi sedikit dari hasil penjualan barang-barang di warungya. “Saya mah pokoknya niat pingin sekali pergi ke tanah suci,” lanjutnya. Bertahun-tahun sudah tabungannya, sesekali dihitungnya sekedar untuk makin menguatkan keinginannya. “Kurang beberapa juta lagi, Nyi, cukup da, beberapa tahun lagi, gak lama,” katanya pada istrinya. Senyum Pak Asep dan Istrinya merekah.

Terbayang ia bersama istrinya akan berthawaf keliling mengucapkan talbiah, “Labbaik Allaahumma Labbaik”. Saat-saat yang diimpikannya bertahun-tahun, untuk menyempurnakan rukun Islam, rindu di hari tuanya mendekat kepada Sang Khalik .

Dalam hari-hari semangatnya berhaji itu, tiba-tiba sampai di telinganya sebuah kabar tentang tetangganya masuk rumah sakit dan harus dioperasi. Para tetangga sebenarnya sudah iuran membantu meringankan biaya rumah sakitnya. Tapi biaya operasi memang mahal. Pak Asep tersentak……….

Terbayang olehnya uang tabungannya untuk biaya haji dapat membantu operasi tetangganya yang tak berpunya. “Haji ibadah, sedekah juga ibadah, gak apa sedekah kan uang kita untuk berobat, Ki,” istrinya mendukung uang tabungannya bertahun-tahun itu diberikan untuk biaya tetangganya yang dioperasi di rumah sakit.

“Kang, terima ini ya, rezeki mah dari Allah, mungkin emang lewat saya, biarlah ini jadi jalan makin yang mendekatkan aku pada Allooh, moga-moga cepet sembuh, kang,” katanya sambil menyerahkan amplop tebal uang tabungannya yang berbilang tahun itu. Dipeluknya Pak Asep dengan erat.

Sedikit yang tahu ketulusan Pak Asep dan Istrinya ini.

Ketika dokter yang merawat temannya ini heran dari mana ia bisa membiayai operasi yang mahal ini, maka sampailah cerita tentang uang tabungan Pak Asep ini. “Boleh saya dikenalkan sama Pak Asep, pak?” sambut sang dokter terharu. Maka ditemuinya Pak Asep dan istrinya. Dan ditemuinya keteduhan seorang dermawan. Raut wajah yang kaya, meski dalam kesederhanaan hidup. “Pak Asep, saya ada rezeki, bolehkan saya ikut mendaftarkan Bapak dan istri pergi haji bersama saya dan keluarga?” Sang dokter menawarkan. Pak Asep dan istriya sejenak berpandangan. Tak kuat lagi menahan haru, dipeluknya dokter dermawan tadi. “Alloh Maha Kaya,” ucapnya lirih di telinga dokter.

(sahabat, menangislah kalau terharu…..).

Maka kakinya kemudian hadir di Baitullah, berhaji, dengan karunia dan rezeki dari Allah. Pak Asep dan istri seakan mereguk hidangan Allah yang sempurna, buah dari kedermawanannya.

Kisah Pak Asep mungkin saja banyak terjadi kehidupan kita. Pak Asep-Pak Asep lain pun telah menggores hikmah kehidupannya sendiri. Atau bahkan telah pula sering kita alami sendiri. Dan selalu saja sedekah akan menyuburkan hati kita, memberkahi kehidupan kita. Maka mengapa kita menunda sedekah kita ?

Kisah Teladan Seorang Budak

Di bawah ini adalah kisah teladan dari seorang budak penjaga kebun yang bernama Mubarok. Dan kelak, Mubarok melahirkan seorang anak yang alim, pakar hadits, zuhud, sekaligus mujahid. Selamat membaca.

Alkisah hiduplah seorang budak yang bernama Mubarok. Menurut suatu riwayat, ia pernah bekerja di sebuah kebun milik seorang majikan. Ia tinggal di sana beberapa lama. Kemudian suatu ketika majikannya, yaitu pemilik kebun tadi yang juga salah seorang saudagar kaya dari Hamdzan datang kepadanya dan mengatakan, ”Hai Mubarok, aku ingin satu buah delima yang manis.”

Dengan sigap sang budak yang bernama Mubarok itu bergegas menuju salah satu pohon dan mengambilkan delima yang diminta. Majikan tadi lantas memecahnya, ternyata ia mendapatkan rasanya masih asam.

Ia pun marah kepada Mubarok sambil mengatakan, ”Aku minta yang manis malah kau beri yang masih asam! Cepat ambilkan yang manis!”

Ia pun beranjak dan memetiknya dari pohon yang lain. Setelah dipecah oleh sang majikan, ia mendapati rasanya masih asam. Kontan majikannya semakin naik pitam. Ia melakukan hal yang sama untuk ketiga kalinya, majikannya mencicipinya lagi. Ternyata masih juga yang asam rasanya. Setelah itu, majikannya bertanya, ”Kamu ini apa tidak tahu, mana yang manis mana yang asam?”

Mubarok, dengan tenang menjawab, ”Tidak, tuanku, bagaimana bisa seperti itu?”

”Sebab aku tidak pernah makan buah dari kebun ini sampai aku benar-benar mengetahui (kehalalan) nya.”

”Kenapa engkau tidak mau memakannya?” tanya majikannya lagi.

”Karena Anda belum mengizinkan aku untuk makan dari kebun ini,” jawab Mubarok. Pemilik kebun tadi menjadi terheran-heran dengan jawabannya itu.

Tatkala ia tahu akan kejujuran budaknya ini, Mubarok menjadi besar dalam pandangan matanya dan bertambah pula nilai orang ini di sisi dia. Kebetulan majikannya tersebut mempunyai seorang anak perempuan yang banyak dilamar oleh orang. Ia mengatakan, ”Wahai Mubarok, menurutmu siapa yang pantas memperistri putriku ini?”

”Dulu orang-orang jahiliyah menikahkan putri-putri mereka lantaran keturunan. Orang Yahudi menikahkan karena harta, sementara orang Nasrani menikahkan karena keelokan paras. Dan umat ini menikahkan karena agama,” jawab Mubarok.

Sang majikan kembali dibuat takjub dengan pemikiran jitunya itu. Akhirnya majikan tadi pergi dan memberitahu istrinya sambil berkata, ”Menurutku, tidak ada yang lebih pantas untuk putri kita ini selain Mubarok.”

Mubarok pun kemudian menikahinya dan mertuanya memberinya harta yang cukup melimpah. Di kemudian hari, istri Mubarok ini meliharkan Abdullah bin al-Mubarok, seorang alim, pakar hadits, zuhud sekaligus mujahid. Yang merupakan hasil pernikahan terbaik dari pasangan orang tua kala itu.

Sampai-sampai al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah mengatakan seraya bersumpah dalam perkataannya, ”Demi Pemilik Kabah, kedua mataku belum pernah melihat orang yang semisal dengan Ibnu al-Mubarok.”

Namun, apa yang terjadi pada saat ini, kecurangan dan penipuan sudah semakin banyak terjadi dalam kehidupan sebagian orang. Sangat jarang kita temukan orang jujur lagi terpercaya dalam menunaikan amanah serta yang jauh dari sifat curang dan penipu.

Demikianlah kisah teladan dari Mubarok, seorang budak penjaga kebun. Semoga ada hikmah untuk kita semua. Aamiin.

Dengan 10 Ribu Rupiah Membuat Anda Mengerti Cara Bersyukur

Ada seorang sahabat menuturkan kisahnya. Dia bernama Budiman. Sore itu ia menemani istri dan seorang putrinya berbelanja kebutuhan rumah tangga bulanan di sebuah toko swalayan. Usai membayar, tangan-tangan mereka sarat dengan tas plastik belanjaan.
Baru saja mereka keluar dari toko swalayan, istri Budiman dihampiri seorang wanita pengemis yang saat itu bersama seorang putri kecilnya. Wanita pengemis itu berkata kepada istri Budiman, ”Beri kami sedekah, Bu!”

Istri Budiman kemudian membuka dompetnya lalu ia menyodorkan selembar uang kertas berjumlah 1000 rupiah. Wanita pengemis itu lalu menerimanya. Tatkala tahu jumlahnya tidak mencukupi kebutuhan, ia lalu menguncupkan jari-jarinya mengarah ke mulutnya. Kemudian pengemis itu memegang kepala anaknya dan sekali lagi ia mengarahkan jari-jari yang terkuncup itu ke mulutnya, seolah ia ingin berkata, ”Aku dan anakku ini sudah berhari-hari tidak makan, tolong beri kami
tambahan sedekah untuk bisa membeli makanan!”

Mendapati isyarat pengemis wanita itu, istri Budiman pun membalas isyarat dengan gerak tangannya seolah berkata, ”Tidak... tidak, aku tidak akan menambahkan sedekah untukmu!”
Ironisnya meski tidak menambahkan sedekahnya, istri dan putrinya Budiman malah menuju ke sebuah gerobak gorengan untuk membeli cemilan. Pada kesempatan yang sama Budiman berjalan ke arah ATM center guna mengecek saldo rekeningnya. Saat itu memang tanggal gajian, karenanya Budiman ingin mengecek saldo rekening dia.

Di depan ATM, Ia masukkan kartu ke dalam mesin. Ia tekan langsung tombol INFORMASI SALDO. Sesaat kemudian muncul beberapa digit angka yang membuat Budiman menyunggingkan senyum kecil dari mulutnya. Ya, uang gajiannya sudah masuk ke dalam rekening.
Budiman menarik sejumlah uang dalam bilangan jutaan rupiah dari ATM. Pecahan ratusan ribu berwarna merah kini sudah menyesaki dompetnya. Lalu ada satu lembar uang berwarna merah juga, namun kali ini bernilai 10 ribu yang ia tarik dari dompet. Uang itu Kemudian ia lipat kecil untuk berbagi dengan wanita pengemis yang tadi meminta tambahan sedekah.

Saat sang wanita pengemis melihat nilai uang yang diterima, betapa girangnya dia. Ia pun berucap syukur kepada Allah dan berterima kasih kepada Budiman dengan kalimat-kalimat penuh kesungguhan: ”Alhamdulillah... Alhamdulillah... Alhamdulillah... Terima kasih tuan! Semoga Allah memberikan rezeki berlipat untuk tuan dan keluarga. Semoga Allah memberi kebahagiaan lahir dan batin untuk tuan dan keluarga. Diberikan karunia keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Rumah tangga harmonis dan anak-anak yang shaleh dan shalehah. Semoga tuan dan keluarga juga diberi kedudukan yang terhormat kelak nanti di surga...!”


Budiman tidak menyangka ia akan mendengar respon yang begitu mengharukan. Budiman mengira bahwa pengemis tadi hanya akan berucap terima kasih saja. Namun, apa yang diucapkan oleh wanita pengemis tadi sungguh membuat Budiman terpukau dan membisu. Apalagi tatkala sekali lagi ia dengar wanita itu berkata kepada putri kecilnya, ”Dik, Alhamdulillah akhirnya kita bisa makan juga....!”
Deggg...!!! Hati Budiman tergedor dengan begitu kencang. Rupanya wanita tadi sungguh berharap tambahan sedekah agar ia dan putrinya bisa makan. Sejurus kemudian mata Budiman membuntuti kepergian mereka berdua yang berlari menyeberang jalan, lalu masuk ke sebuah warung tegal untuk makan di sana.

Budiman masih terdiam dan terpana di tempat itu. Hingga istri dan putrinya kembali lagi dan keduanya menyapa Budiman. Mata Budiman kini mulai berkaca-kaca dan istrinya pun mengetahui itu. ”Ada apa Pak?” Istrinya bertanya.

Dengan suara yang agak berat dan terbata Budiman menjelaskan: ”Aku baru saja menambahkan sedekah kepada wanita tadi sebanyak 10 ribu rupiah!”

Awalnya istri Budiman hampir tidak setuju tatkala Budiman mengatakan bahwa ia memberi tambahan sedekah kepada wanita pengemis. Namun Budiman kemudian melanjutkan kalimatnya:
”Bu..., aku memberi sedekah kepadanya sebanyak itu. Saat menerimanya, ia berucap hamdalah berkali-kali seraya bersyukur kepada Allah. Tidak itu saja, ia mendoakan aku, mendoakan dirimu, anak-anak dan keluarga kita. Panjaaaang sekali ia berdoa!

Dia hanya menerima karunia dari Allah Swt sebesar 10 ribu saja sudah sedemikian hebatnya bersyukur. Padahal aku sebelumnya melihat di ATM saat aku mengecek saldo dan ternyata di sana ada jumlah yang mungkin ratusan bahkan ribuan kali lipat dari 10 ribu rupiah. Saat melihat saldo itu, aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum. Aku terlupa bersyukur, dan aku lupa berucap hamdalah.

Bu..., aku malu kepada Allah! Dia terima hanya 10 ribu begitu bersyukurnya dia kepada Allah dan berterimakasih kepadaku. Kalau memang demikian, siapakah yang pantas masuk ke dalam surga Allah, apakah dia yang menerima 10 ribu dengan syukur yang luar biasa, ataukah aku yang menerima jumlah lebih banyak dari itu namun sedikitpun aku tak berucap hamdalah.”

Budiman mengakhiri kalimatnya dengan suara yang terbata-bata dan beberapa bulir air mata yang menetes. Istrinya pun menjadi lemas setelah menyadari betapa selama ini kurang bersyukur sebagai hamba. Ya Allah, ampunilah kami para hamba-Mu yang kerap lalai atas segala nikmat-Mu